Senin, 24 Desember 2012

Awas PKI Gaya Baru !

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, yang mengingatkan pada jenderal-jenderal TNI
yang dibunuh dengan sadis oleh PKI.


Ketika meletus pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1948, Indonesia gempar. Dan ketika terjadi kembali pemberontakan PKI pada 1965, Indonesia kembali gempar. Pemberontakan 1965 berakhir dengan pembubaran PKI, atas tuntutan berbagai pihak. Para ulama NU termasuk pihak yang paling getol menyuarakan pembubaran PKI itu. 

Belakangan, setelah 40 tahun lebih kematiannya, muncul tanda-tanda (upaya) bangkitnya PKI gaya baru atau Neo PKI. Terkait Hari Peringatan G 30 S/PKI pada 30 September, ada baiknya kita mempelajari dan mengantisipasi bangkitnya PKI gaya baru itu.

Dosa-Dosa PKI

Ada dua dosa atau kesalahan utama PKI. Pertama, pada agama dan ulama. PKI identik dengan Ateisme, paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Dan dalam realitanya, PKI sering melakukan penghinaan terhadap agama, tempat ibadah, kiai, dan ulama. Penghinaan itu di antaranya dimunculkan dalam lakon ludruk Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat, underbow PKI) dengan judul Gusti Allah Mantu atau Malaikat Kawin. Tentu saja lakon itu dirasakan sangat menghina umat beragama di Indonesia. (Soeleiman Fadeli, 2007)


Rakyat pada tahun 1965 menuntut bubarkan PKI. (foto ebay.com)
Selain melakukan penghinaan agama, PKI juga banyak membunuh para ulama, haji,  dan umat Islam. Ribuan Kiai di Ponorogo, Magetan, Madiun, dan lain-lain dibantai, dimasukkan dalam sumur, dan ditimbuni hidup-hidup. Salah satu kiai besar yang tidak ketahuan kuburnya adalah Kiai Mursyid dari Pesantren Takeran, sahabat karib KHA Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur. (Lupa, refleksi AULA edisi Mei 2007)

Dosa kedua, pada bangsa dan negara. Dua kali PKI melakukan pengkhianatan dan pemberontakan, pada 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta. Pada pemberontakan-pemberontakan itu PKI banyak membuat kekacauan dan membunuh warga yang tak sepaham dengannya, bahkan pada 1965 PKI juga membunuh jenderal-jenderal ABRI. 

Karena dua dosa utama tersebut, tak heran setelah G 30 S/PKI banyak tuntutan untuk membubarkan PKI dari berbagai pihak. Pada 5 Oktober 1965, NU—yang warganya banyak dibunuh PKI—adalah yang pertama menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI, ketika belum ada ormas lain yang melakukannya. Akhirnya dikeluarkan TAP XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan penyebarluasan Marxisme, Leninisme, dan Komunisme.

PKI Bangkit dari Kubur?

Majalah AULA terbitan PW NU Jawa Timur pada edisi Mei 2007 telah mengangkat topik utama Awas PKI. Di edisi tersebut, beberapa tokoh ulama dan pengurus NU memberikan kesaksiannya akan adanya upaya untuk membangkitkan kembali PKI di Indonesia. Juga disebutkan 9 indikasi bangkitnya PKI dalam artikel Indikasi Gerakan PKI Tak Pernah Mati. Sembilan indikasi itu adalah:

1. Pada masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid banyak permintaan untuk mencabut TAP XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan paham komunis di Indonesia. Presiden Gus Dur setuju pencabutan Tap itu. Namun gagal dilaksanakan karena banyak pihak menentangnya.

2. Ada usaha dari LSM tertentu untuk menggali apa yang mereka klaim sebagai “kuburan massal PKI” di Selopuro, Blitar Selatan, sekaligus dengan mengajak keluarga para korban meminta pengakuan dari Pemda setempat bahwa nenek moyang mereka dimakamkan di situ. Namun usaha itu ditolak oleh pemerintah setempat.

3. Pernah juga dilakukan usaha “pengajian gabungan” peringatan tragedi di bawah patung Trisula di daerah Suruh Wadang. Namun kali ini juga berhasil digagalkan pemerintah setempat. Di antara sebabnya, KH M Yusuf Hasyim mendatangi bupati dan seluruh jajaran di bawahnya untuk menolak rencana peringatan itu.


Anti PKI. (foto buletininfo.com)
4. Beredarnya majalah RUAS yang banyak memaparkan kisah orang-orang bekas anggota PKI dan organisasi di bawahnya. Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang tidak bersalah dalam kasus itu. Majalah ini banyak menggunakan jaringan di bawah NU, misalnya Lakpesdam, LPBH, dan Fatayat daerah tertentu.

5. Banyaknya permintaan rehabilitasi nama seseorang yang tersangkut PKI. Termasuk di antaranya sastrawan Pramudya Ananta Tur (alm), tokoh Lekra.

6. Ada seorang anggota DPR RI yang menulis buku Aku Bangga sebagai Orang PKI, dan anak DN Aidit (Ketua Umum CC PKI) yang mengaku bangga sebagai anak orang PKI.

7. Sobron Aidit, adik dari DN Aidit, banyak menulis tentang kisah perjalanan dirinya dan kakaknya, “ketidakadilan pemerintah”, serta usaha-usaha untuk kembali ke Indonesia. Namun sampai saat ini belum berhasil.

8. Banyak buku sejarah yang sudah menghilangkan kata “PKI” dalam peristiwa G 30 S 1965. Kejaksaan Agung sudah menarik kembali buku-buku itu.

9. Munculnya partai Papernas, yang banyak memiliki kesamaan dengan langkah-langkah PKI di masa lalu.

Selain 9 indikasi di atas, masih banyak indikasi lain akan adanya gerakan sistematis PKI gaya baru. Di antaranya adalah:

10. Pamflet dan atribut bergambar palu arit (lambang PKI) beredar di wilayah Bogor pada Senin 17 April 2006. Simbol yang pernah digunakan PKI itu dilukis dengan menggunakan cat semprot. Sedikitnya ada lima lambang itu di badan jalan, tepat di depan Istana Bogor.

11. Munculnya LSM-LSM berhaluan kiri yang menggugat keabsahan sejarah G 30 S/PKI dan menyebarkan paham PKI dengan berbagai cara dan media. Mereka juga kerap mempertentangkan antara masyarakat dan pemerintah.

12. Diterbitkannya buku-buku bertema Komunisme, Marxisme, dan Leninisme serta perlawanan terhadap “ketidakadilan” pemerintah oleh penerbit-penerbit kiri, di antaranya ResistBook dan Hasta Karya.

13. Diadakannya berbagai seminar dan diskusi seputar PKI dan G 30 S/PKI dan perlawanan terhadap “ketidakadilan” pemerintah. 

14. Banyaknya tulisan dan reportase yang mempertanyakan dan berupaya mengubah sejarah seputar PKI. Baik buku, media cetak, maupun media online (internet).

15. Sejarawan dan peneliti LIPI bernama Dr Asvi Warman Adam banyak memaparkan sejarah seputar G 30 S/PKI dalam bentuk buku, artikel, dan makalah. Namun pandangannya sering tidak sejalan dengan sejarah yang dipahami bangsa Indonesia. Dalam bahasa AULA, Asvi cenderung “membela” PKI.

16. Diputarnya film bertema PKI berjudul Shadow Play: Indonesia’s Years of Living Dangerously. Film ini diproduksi Milton Cordel/Vagabons Film (2001), dengan sutradara Chris Hilton. Film yang diproduseri Walter Slamer dan Lexi Rambadeta ini banyak ditayangkan di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia sejak 2001. Juga di Indonesia, di kantor-kantor LSM yang mengaku pembela HAM, kampus-kampus, dan di depan pelajar SMU dan anak-anak muda. Film ini dinilai banyak kalangan sebagai propaganda menyesatkan guna membalik sejarah kesalahan PKI yang banyak berlumuran darah. (Hidayatullah.com, 15/12/06)

17. Majalah TEMPO edisi khusus hari kemerdekaan, 11-17 Agustus 2008, mengangkat topik utama tentang tokoh PKI Tan Malaka dengan judul cover “Bapak Republik Yang Dilupakan.”

18. Pangdam Jaya Mayjen TNI Agustadi Sasongko Purnomo meminta masyarakat mewaspadai bangkitnya kembali gerakan komunisme. Hal itu bisa dilihat dari kegiatan mereka yang makin nyata. Menurutnya, kegiatan seperti pameran budaya di TIM yang digelar korban stigma PKI pada 22 Februari 2006 dan bedah buku sejarah BTI dan PKI karangan Pramoedya Ananta Toer, adalah bentuk konsolidasi PKI. Selain itu, indikasi bangkitnya PKI bisa dilihat dari banyaknya aksi demo buruh tani dan sejumlah aktivis mahasiswa dari kelompok kiri yang intinya minta pencabutan Tap MPR 25/1966 tentang Pembubaran PKI, menghidupkan kembali organisasi komunis, dan membubarkan Komando Teritorial (Koter) TNI. Konsolidasi PKI itu, ungkap Pangdam Jaya, dalam rangka menyusun kekuatan dan memulihkan nama baik sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2009. Targetnya, PKI bisa masuk dalam percaturan politik Indonesia. (detiknews.com, 07/03/06)

Demi Agama dan Negara

Menurut mantan Ketua MPR Amien Rais, kemunculan kembali PKI bisa dimengerti. Karena Mahkamah Konstitusi (MK)—peradilan tertinggi di Indonesia—telah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 60g UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dan menyatakan eks PKI mempunyai hak pilih dan dipilih pada Pemilu 2009. (detiknews.com, 18/04/06)


Demo menolak Komunisme. (foto antarafoto.com)
Memang eks PKI bisa bertaubat, dan orang-orang yang punya hubungan keluarga dengan eks PKI belum tentu juga berpaham atau mendukung PKI. Bagi yang demikian, barangkali tidak masalah. Namun apabila mereka berusaha untuk membangkitkan kembali PKI dan memutarbalikkan fakta sejarah, tentu mereka yang melakukannya patut dicurigai dan diwaspadai.

“Mereka mengarahkan opini, seakan orang-orang PKI tahun 1965 itu tidak bersalah. Mereka hanya korban, bukan pelaku,” kata KH Abdul Muchit Muzadi, kiai sepuh yang kini Mustasyar PB NU. “Yang jelas, mereka tidak akan menggunakan nama PKI lagi, karena sudah tidak populer, hanya misinya saja yang terus dibawa,” tegas Drs HA Chalid Mawardi, mantan Ketua PB NU (1989-1994) dan Sekjen PP GP Ansor (1959-1967).

Chalid menjelaskan, “Kalau kita baca dari teori-teori komunis, fase-fase itu dari membentuk opini, kemudian mematangkan suasana revolusi, lalu membuat eksperimen-eksperimen gerakan revolusioner. Terus memaksakan konflik antara masyarakat dengan pemerintah, dengan aparatur negara. Digesekkan terus. Sekarang sudah banyak ini kita lihat. Apa saja yang dilakukan pemerintah selalu disalahkan. Terus dipertajam. Apapun yang menyangkut militer disalahkan, dipertajam terus.” Dan akhirnya, lanjut Chalid, akan muncul tokoh-tokoh besar/tua mereka, untuk memimpin revolusi. (AULA, Mei 2007)

Demikianlah, bahaya laten PKI masih mengancam. Tentu kita tak ingin terjadi pemberontakan PKI (baca: PKI gaya baru) yang ketiga kalinya. Sebab akan mencederai agama, bangsa, dan negara. Karena itu, tampaknya kewaspadaan harus ditingkatkan. []

Sumber: Islam Indonesia di Mata Santri (2012) Buletin SIDOGIRI, edisi 33/Ramadhan-Syawal 1429.

1 komentar: