Tidak
dapat dipungkiri bahwa rasa cinta dan pesuadaraan antara ahlul bait dan para
sahabat, begitu kokoh tertanam dalam hati mereka, yang tak pernah lapuk karena hujan dan tak lekang oleh panas. Rasa
cinta itu tetap terawat dan tumbuh subur, hingga terwariskan kepada anak cucu
mereka.
Kecintaan
yang mendalam diantara ahlul bait dan para sahabat, diantaranya bisa ditelusuri
dan dibuktikan dari pemberian nama anak mereka
dengan nama para sahabat besar itu. Misalnya Sayyidina Ali t di antara tiga puluh tiga putra-putri beliau ada yang
diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Imam
Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Umar al-Athraf bin Ali, beliau diantara orang
yang menjadi korban sebagai syahid di medan Karbala. (al-Fushul al-Muhimmah,
hal. 143).
Alkisah,
setelah wafatnya Sayyidah Fathimah RA., Sayyidina Ali RA. menikah dengan
sejumlah wanita yang melahirkan beberapa putra dan putri, diantaranya: Abbas,
Abdullah, Utsman dan Ja’far. Ibu
mereka adalah Umm Al-Banin binti Hizam bin Darim. Sedangkan dari Laila binti
Mas’ud Al-Darimiyyah, Sayyidina Ali RA
mempunyai keturunan bernama Ubaidullah, Abu
Bakar. Sementara dari Asma’ binti Umais, beliau memperoleh anak bernama Yahya,
Muhammad Al-Ashghar dan ’Aun. Adapun dari Ummu Habib binti Rabi’ah, beliau
mempunyai anak bernama Ruqayyah dan Umar,
yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Dan masih ada beberapa putra-putri
lagi dari ibu yang lain (Kasyful Ghummah
fi Ma’rifah al-A’immah, juz. 2, hal. 66. Ali al-Arbili)
Sayyidina
Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Nama yang disebut terakhir wafat secara syahid di medan Karbala (Maqatil
Al-Thalibiyyin, hal. 119). Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan
Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali
baitin Nabi). Abu Bakar bin Husain
Al-Syahid termasuk diantara salah satu Syuhada’ di pertempuran Karbala. (Al-Tanbih wal Isyraf, hal. 263). Imam Ali Zainal Abidin t menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi r juga
dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam
Musa Al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam
Ali Al-Ridla t memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah
(Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237),
dan Imam Ali al-Hadi t juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama
’Aisyah. (Al-Fushuulul Muhimmah, hal.
238). Demikian data yang bisa dibaca dalam literatur syi’ah.
Siapapun
tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih
nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang
dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu seperti orang yang
ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka
ada permusuhan dan dendam kesumat.
Isteri
Sayyidina Husain yang bernama Syahrbanu adalah puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari
kerajaan Persia. Semula beliau adalah
tawanan perang bersama
dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah. Kemudian beliau dihadapkan
kepada Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t. Semua orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh
Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra
beliau sendiri, Abdullah bin Umar t. Namun di luar dugaan justru Sayyidina Umar t menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain t seraya berkata:
يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ
لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina
Husain t)!
Pernikahan engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di
atas bumi.”
Maka
kemudian puteri
Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina Husain. Dari pernikahan tersebut lahir seorang putra bernama Ali bin Husain yang dikenal
dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal. 466-467). Riwayat
tersebut tampak jelas bahwa Sayyidina Umar t
sangat menghormati dan
mencintai Sayyidina Husain t baik
dengan ucapan maupun tindakan.
Bahkan
lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada
putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan
perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar t menikah
dengan Ummi Kultsum t putri
Sayyidina Ali t. (Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr bin
Utsman bin Affan t. menikah dengan Sukainah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan
Fathimah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj t (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman t adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali t dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti
Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li
al-Mas’udi, juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman t juga mengalir darah Bani Abdul Muththalib.
Imam
Muhammad Al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far Al-Shadiq t menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar t, yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar t Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti
Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah t (Al-Kafi, juz.
I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq t menyatakan:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ
مَرَّتَيْنِ (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua
kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).” (Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib,
hal. 195).
Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far Al-Shadiq
yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari
akhlaqul karimah. Simaklah apa yang dikatakan oleh beliau kepada muridnya yang
bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي
حَفْصَة, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ
جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ
عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ
الاَلْمَاسِ, ص 97).
"Wahai Salim adakah seorang
cucu akan memaki kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku, jika aku
mengharapkan syafaat dari Ali t tentu aku
mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar t.
" (Uqud Al-Almas, hal. 97).
Last but not least, Sayyidina Ali t menikah dengan Asma’ binti Umais (janda Sayyidina Abu
Bakar t) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti Umais
tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah t selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma' binti Umais
tersebut pada waktu itu masih menjadi istri dari Abu Bakar t (Al-Amali,
juz. I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais
adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah t (Kasyful Ghummah,
juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah t berwasiat agar Asma’ binti Umais
turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah t, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal
itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu Bakar t sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah,
tidak mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma' bukan wanita yang
salihah, tentu sayyidina Ali t tidak akan menikahinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
اَلخَبِيْثَاتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ
وَالخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثَاتِ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ
وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِ أُوْلَئِۤكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيْـمٌ.
“Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rizki yang mulia (syurga).” (QS. al-Nuur: 26)
Fakta-fakta
tersebut menambah keyakinan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali t tidak memiliki masalah dengan Sayyidina Abu Bakar t, bahkan Sayyidina Ali t sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu Bakar t sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, juz.
VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II, hal. 220). Yang
dikuatkan oleh pernyataan
Sayyidina Ali t ketika membaiat Sayyidina Abu Bakar t, beliau mengatakan:
وَاِنَّا لَنَرَى أَبَا بَكْرٍ أَحَقَّ
النَّاسِ بِهَا
“Kami
melihat Abu Bakar t memang orang yang paling berhak menjadi khalifah”. (Syarh
Nahj al-Balaghah, juz I hal 132, salah satu kitab yang otoritatif dikalangan
syi’ah)
Bahkan,
ketika Sayyidina Ali t diminta kesanggupannya untuk menjadi khalifah, beliau berkomentar sebagai
berikut:
دَعُوْنِي وَالْتَمِسُوْا
غَيْرِي فَأَنْ أَكُوْنَ لَكُمْ وَزِيْرًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ أَكُوْنَ عَلَيْكُمْ
أَمِيْرًا.
“Tinggalkan
aku, dan cari orang lain. Bagiku, menjadi wazir (menteri) lebih baik daripada
menjadi Amir (khalifah) bagi kalian”. (Nahj Al-Balaghah, hal
181-182)
Selanjutnya, ketika Sayyidina
Ali t didesak agar menjadi khalifah pasca terbunuhnya Sayyidina Utsman t, beliau menolak. Dan ketika desakan itu tidak mampu beliau bendung, beliau
menerimanya dan menyatakan demikian:
وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي الْخِلَافَةِ
رَغْبَةٌ وَلَا فِي الْوِلَايَةِ إِرْبَةٌ, وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي إِلَيْهَا,
وَحَمَلْتُمُوْنِي عَلَيْهَا.
“Demi
Allah! Aku sama sekali tidak menghendaki khilafah, dan tidak ada hasrat hati
untuk menduduki wilayah, hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya
(kekhilafahan)”.(Nahj Al-Balaghah, hal 322)
Berbagai
pernyataan tersebut merupakan indikator bahwa Sayyidina Ali t benar-benar tidak mendapatkan wasiat dari Rasulullah SAW untuk menjadi
khalifah yang pertama. Buktinya beliau menyatakan: "Hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya
(kekhilafahan)". Artinya yang menyuruh menjadi khalifah itu para sahabat
dan bukan Rasulullah SAW.
Dengan
demikian antara Sayyidina Ali t dan Sayyidina Abu Bakar t pada hakikatnya telah terjalin tautan kasih dan tambatan
sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh
deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan Sayyidina Umar t, Sayyidina Utsman t dan para sahabat y lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad r dalam membimbing Ahlul Bait dan para sahabatnya.
Sejatinya,
semua umat Islam mafhum bahwa Sayyidina
Abu Bakar t dan Sayyidina Umar t adalah mertua dari Rasulullah r. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah
binti Umar dinikahi Rasulullah r. Sementara dua puteri Rasulullah, Sayyidah Ruqayyah dan
Sayyidah Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman t secara berurutan. Sedangkan Sayyidah Fatimah adalah
isteri Sayyidina Ali t. Nabi r tentu tidak salah dalam memilih mertua dan menantu
karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).
Siapapun yang benar-benar
mencintai Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad r, tentu harus mencontoh sikap santun dan kerendahan hati
mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad r, yang bersih hati dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal
yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki.
Semua itu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api. Kendati demikian, hal tersebut
tidak perlu menimbulkan fanatisme buta yang berujung pada kultus individu yang
dilarang agama. Begitu pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi
mengkafirkan generasi terbaik Islam itu, harus dicampakkan dari lubuk hati.
Begitulah alur berpikir kaum
Aswaja dalam menyikapi hubungan antara ahlul bait dan para sahabat. Kehidupan
mereka bergelimang cinta dan kasih
sayang serta saling menghormati dalam tata pergaulan sehari-hari. Itulah yang
wajib kita teladani.
0 komentar:
Posting Komentar