Senin, 03 Desember 2012

KETELADANAN AHLUL BAIT


Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa cinta dan pesuadaraan antara ahlul bait dan para sahabat, begitu kokoh tertanam dalam hati mereka, yang tak pernah lapuk  karena hujan dan tak lekang oleh panas. Rasa cinta itu tetap terawat dan tumbuh subur, hingga terwariskan kepada anak cucu mereka.
Kecintaan yang mendalam diantara ahlul bait dan para sahabat, diantaranya bisa ditelusuri dan dibuktikan dari  pemberian nama anak mereka dengan nama para sahabat besar itu. Misalnya Sayyidina Ali t di antara tiga puluh tiga putra-putri beliau ada yang diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Umar al-Athraf bin Ali, beliau diantara orang yang menjadi korban sebagai syahid di medan Karbala. (al-Fushul al-Muhimmah, hal. 143).
Alkisah, setelah wafatnya Sayyidah Fathimah RA., Sayyidina Ali RA. menikah dengan sejumlah wanita yang melahirkan beberapa putra dan putri, diantaranya: Abbas, Abdullah, Utsman dan Ja’far.  Ibu mereka adalah Umm Al-Banin binti Hizam bin Darim. Sedangkan dari Laila binti Mas’ud Al-Darimiyyah,  Sayyidina Ali RA mempunyai keturunan bernama  Ubaidullah, Abu Bakar. Sementara dari Asma’ binti Umais, beliau memperoleh anak bernama Yahya, Muhammad Al-Ashghar dan ’Aun. Adapun dari Ummu Habib binti Rabi’ah, beliau mempunyai anak bernama Ruqayyah dan  Umar, yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Dan masih ada beberapa putra-putri lagi dari ibu yang lain (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, juz. 2, hal. 66. Ali al-Arbili)
Sayyidina Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Nama yang  disebut terakhir  wafat secara syahid di medan Karbala (Maqatil Al-Thalibiyyin, hal. 119). Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Abu Bakar bin Husain Al-Syahid termasuk diantara salah satu Syuhada’ di pertempuran Karbala. (Al-Tanbih wal Isyraf, hal. 263). Imam Ali Zainal Abidin t menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi r juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam Musa Al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam Ali Al-Ridla t memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi t juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah. (Al-Fushuulul Muhimmah, hal. 238). Demikian data yang bisa dibaca dalam literatur syi’ah.
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu seperti orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat.
Isteri Sayyidina Husain yang bernama Syahrbanu adalah puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari kerajaan Persia. Semula beliau adalah tawanan perang bersama dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah. Kemudian beliau dihadapkan kepada Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t. Semua orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra beliau sendiri, Abdullah bin Umar t. Namun di luar dugaan justru Sayyidina Umar t menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain t seraya berkata:
يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina Husain t)! Pernikahan engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di atas bumi.
Maka kemudian puteri Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina Husain. Dari pernikahan tersebut lahir seorang putra bernama Ali bin Husain yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal. 466-467). Riwayat tersebut tampak jelas bahwa Sayyidina Umar t sangat menghormati dan mencintai Sayyidina Husain t baik dengan ucapan maupun tindakan.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar t menikah dengan Ummi  Kultsum t putri Sayyidina Ali t. (Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr  bin Utsman bin Affan t. menikah dengan Sukainah binti Al-Husain  bin Ali bin Abi Thalib t Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj t  (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman t adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali t dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi, juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman t juga mengalir darah Bani Abdul Muththalib.
Imam Muhammad Al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far Al-Shadiq t menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar t, yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar t Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah t (Al-Kafi, juz. I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq t menyatakan:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ  (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya). (Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib, hal. 195).
            Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far Al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah apa yang dikatakan oleh beliau kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي حَفْصَة, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ الاَلْمَاسِ, ص 97).
"Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari Ali t tentu aku mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar t. " (Uqud Al-Almas, hal. 97).
Last but not least, Sayyidina Ali t menikah dengan Asma’ binti Umais (janda Sayyidina Abu Bakar t) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah t selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma' binti Umais tersebut pada waktu itu masih menjadi istri dari Abu Bakar t (Al-Amali, juz. I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah t (Kasyful Ghummah, juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah t berwasiat agar Asma’ binti Umais turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah t, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut  (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu Bakar t sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma' bukan wanita yang salihah, tentu sayyidina Ali t tidak akan menikahinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
اَلخَبِيْثَاتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثَاتِ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِ أُوْلَئِۤكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْـمٌ.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan  oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (syurga).” (QS. al-Nuur: 26)
Fakta-fakta tersebut menambah keyakinan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali t tidak memiliki masalah dengan Sayyidina Abu Bakar t, bahkan Sayyidina Ali t sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu Bakar t sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, juz. VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II, hal. 220). Yang dikuatkan oleh pernyataan Sayyidina Ali t ketika membaiat Sayyidina Abu Bakar t, beliau mengatakan:
وَاِنَّا لَنَرَى أَبَا بَكْرٍ أَحَقَّ النَّاسِ بِهَا
“Kami melihat Abu Bakar t memang orang yang paling berhak menjadi khalifah”. (Syarh Nahj al-Balaghah, juz I hal 132, salah satu kitab yang otoritatif dikalangan syi’ah)
Bahkan, ketika Sayyidina Ali t diminta kesanggupannya untuk menjadi khalifah, beliau berkomentar sebagai berikut:
دَعُوْنِي وَالْتَمِسُوْا غَيْرِي فَأَنْ أَكُوْنَ لَكُمْ وَزِيْرًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ أَكُوْنَ عَلَيْكُمْ أَمِيْرًا.
“Tinggalkan aku, dan cari orang lain. Bagiku, menjadi wazir (menteri) lebih baik daripada menjadi Amir (khalifah) bagi kalian”. (Nahj Al-Balaghah, hal 181-182)
Selanjutnya, ketika Sayyidina Ali t didesak agar menjadi khalifah pasca terbunuhnya Sayyidina Utsman t, beliau menolak. Dan ketika desakan itu tidak mampu beliau bendung, beliau menerimanya dan menyatakan demikian:
وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي الْخِلَافَةِ رَغْبَةٌ وَلَا فِي الْوِلَايَةِ إِرْبَةٌ, وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي إِلَيْهَا, وَحَمَلْتُمُوْنِي عَلَيْهَا.
“Demi Allah! Aku sama sekali tidak menghendaki khilafah, dan tidak ada hasrat hati untuk menduduki wilayah, hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)”.(Nahj Al-Balaghah, hal 322)
Berbagai pernyataan tersebut merupakan indikator bahwa Sayyidina Ali t benar-benar tidak mendapatkan wasiat dari Rasulullah SAW untuk menjadi khalifah yang pertama. Buktinya beliau menyatakan:  "Hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)". Artinya yang menyuruh menjadi khalifah itu para sahabat dan bukan Rasulullah SAW.
Dengan demikian antara Sayyidina Ali t dan Sayyidina Abu Bakar t pada hakikatnya telah terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan Sayyidina Umar t, Sayyidina Utsman t dan para sahabat y lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad r dalam membimbing Ahlul Bait dan para sahabatnya.
Sejatinya, semua umat Islam mafhum  bahwa Sayyidina Abu Bakar t dan Sayyidina Umar t adalah mertua dari Rasulullah r. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah binti Umar dinikahi Rasulullah r. Sementara dua puteri Rasulullah, Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman t secara berurutan. Sedangkan Sayyidah Fatimah adalah isteri Sayyidina Ali t. Nabi r tentu tidak salah dalam memilih mertua dan menantu karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).
Siapapun yang benar-benar mencintai Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad r, tentu harus mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad r, yang bersih hati dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki. Semua itu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api. Kendati demikian, hal tersebut tidak perlu menimbulkan fanatisme buta yang berujung pada kultus individu yang dilarang agama. Begitu pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi terbaik Islam itu, harus dicampakkan dari lubuk hati.
Begitulah alur berpikir kaum Aswaja dalam menyikapi hubungan antara ahlul bait dan para sahabat. Kehidupan mereka bergelimang  cinta dan kasih sayang serta saling menghormati dalam tata pergaulan sehari-hari. Itulah yang wajib kita teladani. 

0 komentar:

Posting Komentar